Kaos oblong atau disebut juga sebagai T-shirt adalah jenis
pakaian yang menutupi sebagian lengan, seluruh dada, bahu, dan perut. Kaus
oblong biasanya tidak memiliki kancing, kerah, ataupun saku. Pada umumnya, kaus
oblong berlengan pendek (melewati bahu hingga sepanjang siku) dan berleher
bundar. Bahan yang umum digunakan untuk membuat kaus oblong adalah katun atau
poliester (atau gabungan keduanya).
Mode kaus oblong meliputi mode untuk wanita dan pria, dan
dapat dipakai semua golongan usia, termasuk bayi, remaja, ataupun orang dewasa.
Kaus oblong pada mulanya digunakan sebagai pakaian dalam. Sekarang kaus oblong
tidak lagi hanya digunakan sebagai pakaian dalam tetapi juga sebagai pakaian
sehari-hari.
Sejarah
T- Shirt atau kaos oblong pada awalnya digunakan sebagai
pakaian dalam tentara Inggris dan Amerika pada abad 19 sampai awal abad 20.
Asal muasal nama inggrisnya, T-shirt, tidak diketahui secara pasti. Teori yang
paling umum diterima adalah nama T-shirt berasal dari bentuknya yang menyerupai
huruf "T", atau di karenakan pasukan militer sering menggunakan pakaian
jenis ini sebagai "training shirt".
Masyarakat umum belum mengenal penggunakan kaos atau T-Shirt
dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, para tentara yang menggunakan kaos oblong
tanpa desain ini pun hanya menggunakannya ketika udara panas atau
aktivitas-aktivitas yang tidak menggunakan seragam. Ketika itu warna dan
bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda itu berwarna putih, dan
belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar lengan.
Awal Kepopuleran
T-shirt alias kaos oblong ini mulai dipopulerkan sewaktu
dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu ketika ia memerankan tokoh
Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon “A Street Named Desire” karya
Tenesse William di Broadway, AS. T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya
begitu pas dan lekat di tubuh Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang
diperankannya. dan film Rebel Without A Cause (1995) yang dibintangi James
Dean. Pada waktu itu penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski
demikian, ada juga penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos
oblong tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan. Tak pelak, muncullah
polemik seputar kaos oblong.
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai
pemakaian kaos oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan
tidak beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas
teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan menganggap
benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak muda itu, kaos
oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan merupakan bagian dari
keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan
popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa
perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun semula mereka
meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan kaos oblong dengan
pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya secara besar-besaran. Citra kaos
oblong semakin menanjak lagi manakala Marlon Brando sendiri – dengan berkaos
oblong yang dipadu dengan celana jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan
produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya
demam kaos oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi
yang menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut agar
kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju lainnya. Mereka
mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang telah menjadi bagian
budaya mode.
Trend Anak Muda
Demam kaos oblong yang melumat seluruh benua Amerika dan
Eropa pun terjadi sekita tahun 1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean
mengenakan kaos oblong dalam film Rebel Without A Cause, sehingga eksistensi
kaos oblong semakin kukuh dalam kehidupan di sana.
Perlahan namun pasti, T-shirt mulai menjadi bagian dari
busana keseharian yang tidak hanya dipakai untuk pakaian dalam, tetapi juga
menjadi pakaian luaran. Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai
menjadi bagian bagian dari dunia fashion. Namun baru pada tahun 60an ketika
kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt benar-benar menjadi state of fashion
itu sendiri. Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti kemapanan, para hippies ini
menggunakan T-shirt/kaos sebagai salah satu simbolnya. Semenjak saat itulah
revolusi T-shirt terjadi secara total. Para penggiat bisnis menyadari bahwa
T-shirt dapat menjadi medium promosi yang amat efektif serta efesien. Segala
persyaratan sebagai medium promosi yang baik ada di T-shirt. Murah, mobile,
fungsional, dapat dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Disaat yang bersamaan, kelompok-kelompok tertentu macam
hippies, komunitas punk, atau organisasi politik, juga menyadari bahwa T-shirt
dapat menjadi medium propaganda yang sempurna selain medium yang telah ada.
Statement apapun dapat tercetak diatasnya, tahan lama, dan penyebarannya mampu
melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai oleh medium lain, seperti poster
misalnya.
Dengan segala kesempurnaannya, T-shirt tidak lagi menjadi
sederhana. Jelas, secara fungsional benda tersebut masih berlaku sebagai sebuah
sandang. Namun dibalik itu semua, T-shirt memiliki value yang melebihi dari
fungsi dasarnya. Desain T-Shirt yang terus berkembang sampai sekarang selaras
dengan perkembangan manusia dan teknologi yang memang terus berkembang. Sejarah
akan terus mencatat desain berbagai kaos seperti tie dye yang lekat dengan
flowers generation, komunitas punk yang lekat dengan T-Shirt sobek, polos
bahkan dengan desain typohraphy yang mencolok, dan siapa yang tidak kenal
dengan kaos I Love New York yang fenomenal itu.
Dijadikan Identitas Pemakainya
Desain T-Shirt yang kemudian menjadi semacam aktualisasi
pemakainya, bisa diramalkan akan tetap terus digemari. Elemen desain berupa
typohraphy yang sangat menarik dan penuh maksud sangat berpeluang diminati
masyarakat. Apalagi perkembangan dunia konsumen yang sangat memanjakan
aktualisasi pribadi. Siapa pun Anda, konsumen, pemilik perusahaan, manajeman
band, atau siapapun, bisa dengan mudah menunjukkan siapa diri Anda hanya dengan
memakai T-Shirt dengan desain typohraphy atau perpaduan elemen desain lain.
Pemakaian kaos dalam berbagai kesempatan memberikan juga
peluang bagi para desainer dalam berkarya. Fungsinya yang semakin melebar
sangat bisa mendukung perkembangan desain itu sendiri. Kreatifitas menggunakan
medium T-Shirt dalam berkarya desain membuka peluang pemaknaan karya desain
serta perluasan pengetahuan tentang desain pada masyarakat. Berjamurnya
clothing dan distro di kalangan bisnis modern adalah salah satu kemajuan yang
positif dalam dunia desain. Berbagai karya desain yang diimplementasikan dalam
medium T-Shirt memberi warna bagi kehidupan, tidak hanya bentukan huruf tapi
foto, karya desain yang dulu tidak memungkunkan untuk menggunakan media
T-Shirt, kini semuanya menjadi mungkin.
Namun, perkembangan yang demikian masif
harus tetap juga disikapi dengan baik, kemasifan sesuatu hal terkadang
menjadikan desain hanya sebagai produk instan yang tidak memperhatikan
faedah-faedah desain, karena itulah pengetahuan desainer akan prinsip-prinsip
desain sangat diperlukan.
Kaos Oblong di Indonesia
Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh
orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab benda
ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia teknologi
pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang mahal.
Namun, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang
signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal tahun 1970.
Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan katun-halus-tipis,
melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria. Beberapa merek yang terkenal
waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan
lain-lain. Dan tren kaos oblong rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM
Sudarta melalui tokoh Om Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos
Oblong” (Harian Kompas, 14 Januari 1978).
source